Tema : Cinta dengan latar
belakang keyakinan dan budaya yang berbeda.
Tokoh dan
Karakter :
Tokoh
|
Peran
|
Karakter
|
David
|
Remaja
nasrani berkebangsaan negara Amerika
|
Remaja berumur tujuh
belas tahun, bermata biru, berkulit cerah, berambut ikal pirang pendek,
hidungnya kecil dengan bibir tipis berwarna merah muda.
|
Maryam
|
Puteri
satu-satunya Duta Besar Uni Emirat Arab
|
Gadis remaja muslim
dengan kelopak mata yang merunduk, hidungnya mancung dengan bibir berwarna
merah alami, serta alisnya yang tebal dan nyaris menyatu.
Gadis yang anggun,
pemalu, santun, dan selalu menjaga sikap.
|
Rushel
Martin
|
Ayah
angkatnya David
|
Seorang pastur berusia
empat puluhan. Lelaki berpembawaan tenang, yang mengabdikan dirinya di sebuah
gereja di kota Washington DC.
|
Ishak
|
Ayahnya
Maryam
|
Tegas dan keras.
|
Khadijah
|
Ibunya
Maryam
|
Baik dan selalu menuruti
titah suaminya, Ishak.
|
Jardon
|
Sahabat
David
|
Remaja berkulit hitam dan
berwajah ramah.
|
Anggel
|
Sahabat
David
|
Gadis remaja cantik
berambut panjang cokelat.
|
Nico
|
Teman
sekelasnya David
|
-
|
Khaled
|
Calon
sekaligus mantan suami Maryam
|
Khaled mewarisi ciri khas
Arab campuran. Kulitnya putih bersih, hidung mancung, mata biru safir,
alisnya tebal dan indah.
Pemuda yang tampan,
salih, baik, dan lembut.
|
Mrs.
Violen
|
Seorang
guru
|
Seorang wanita berwajah
riang, berkulit gelap, berambut ikal pirang.
Ramah dan bijaksana.
|
Mr.
Lizon
|
Guru
sejarah
|
Seorang guru laki-laki
berumur empat puluhan, bertubuh tinggi yang sedikit bungkuk.
|
Pak
Lucas
|
Guru
sejarah
|
-
|
Mr.
Stone dan Mrs. Monica
|
Orangtua
Anggel
|
-
|
Jim
|
Seorang
Biarawan
|
-
|
Ibrahim
|
Anak
angkatnya David
|
Anak lelaki berpipi merah
seperti tomat matang.
|
Ringkasan
:
Siswi
Berkerudung
Di dalam sebuah rumah sakit besar yang terimpit
gedung-gedung raksasa di jantung kota Washington DC, David terbaring lemah. Di
sisinya, Rushel Martin-ayah angkatnya-duduk menungguinya.
“Ayah, kapan aku bisa pulang?” tanya David lemah. “Aku
sudah tidak betah di sini. Aku merindukan teman-temanku dan sekolahku.”
Rushel memandanginya iba. Ia lalu mengelus kening David.
“Sabar, anakku. Dokter bilang kau belum boleh pulang.”
David memasrahkan diri. Sesaat kemudian, Jardon, teman
sekelasnya, datang mengunjunginya bersama Anggel. Wajah David berbinar. Rushel
membiarkan dua remaja itu menemui David tanpa dirinya.
“Di kelas ada murid baru, Dave”, akhirnya Jardon berkata.
“Hari ini teman-teman sekelas tidak masuk sekolah. Termasuk aku dan Anggel.
Nico bilang dia teroris.”
**
Pikiran David cukup tersita dengan berita kedatangan
siswi muslim yang didengarnya dari Jardon dan Anggel. Seorang siswi berbaju
panjang lengkap dengan penutup kepala. Sejak peristiwa serangan 11 September
2001 di gedung putih, semua warga Amerika mem-black-list umat muslim. Tak
terkecuali David. Baginya, semua umat muslim adalah teroris.
Maryam. Gadis yang baru saja pindah bersama keluarganya
dari Dubai ke Washington DC. Ayahnya ditugaskan sebagai Duta Besar Uni Emirat
Arab untuk Amerika Serikat, memutuskan untuk membawa istri dan puteri
satu-satunya itu. Karena begitu sibuk dengan urusan kedutaan, ia terpaksa
memasukkan Maryam ke sekolah terdekat yang mayoritas siswanya adalah non
muslim.
Seorang wanita tiba-tiba muncul diambang pintu kelas.
“Selamat pagi, Maryam. Tampaknya hanya kau yang siap belajar hari ini,” sapa
Mrs. Violen ramah.
“Good morning, Madam. Kenapa tak ada siapa pun di kelas
hari ini?” tanya Maryam.
“Aku tidak begitu mengerti, Maryam. Tapi... kudengar...
mereka...,” Mrs. Violen menimbang ucapannya sejenak sebelum melanjutkan.
“Maafkan aku, Sayang. Tapi sepertinya mereka pikir kamu... seorang teroris,”
suara Mrs. Violen pelan saat mengucapkan ‘teroris’.
Dia
Bukan Teroris
David disambut teman-temannya setibanya di depan gerbang
sekolah.
“Akhirnya pemimpin kita datang!” Jardon berseru.
“Apa sebaiknya kita ke ruang kepala sekolah sekarang?”
tanya David, tak sabar.
Beberapa siswa sekelasnya mengikuti David memasuki
halaman sekolah. Namun, tak lama kemudian Jardon mengehentikan langkah David.
“Dave, tunggu!” Jardon mendekat dan berbisik, “Itu dia
datang, Dave!” Jardon berujar sambil menoleh ke arah seorang gadis yang baru
memasuki gerbang sekolah sambil menunduk. David pun ikut menoleh melihat ke
arah yang ditunjuk Jardon. David terperangah.
“Kau yakin dia orangnya?” tanya David.
“Ya, dialah orangnya.” Jawab Jardon penuh keyakinan.
“Aku tak mau ke ruang kepala sekolah sekarang,” ucap
David tiba-tiba. Jardon langsung terkejut. “Aku yakin dia bukan teroris”.
Teman-teman sekelasnya memandangi David dengan tatapan
aneh. Mereka heran melihat David tiba-tiba berubah pikiran. Padahal dia baru
saja begitu bersemangat menemui kepala sekolah dan menyelesaikan urusan ‘Siswi
Teroris’ di kelas mereka.
**
David melangkah memasuki kelas dengan tanda tanya-yang
sama dengan yang dilontarkan Jardon dan teman-temannya beberapa saat
lalu-dikepalanya. Mengapa ia sampai berubah pikiran untuk tidak ikut campur
dengan pernyataan teroris yang dituduhkan pada gadis itu?.
Maryam sendiri merasa tenang karena akhirnya ia merasa
memiliki teman yang mendukungnya.
Mereka berdua masih terdiam, padahal di dalam hati kedua
anak manusia berbeda ras itu sangat ingin saling bertegur sapa. Namun,
tiba-tiba seorang guru laki-laki masuk ke kelas. Mr. Lizon.
Mr. Lizon memutuskan untuk tetap mengajar kelas itu. Hari
ini, Maryam tidak sendiri lagi.
**
“Jardon, mari kita bicarakan ini lagi. Percayalah padaku.
Gadis itu bukan teroris. Bahkan guru-guru kita percaya bahwa dia bukan teroris.
Dia anak Duta Besar Uni Emirat Arab untuk Amerika Serikat. Ayolah, kenapa
kalian bersikap begitu? Ayolah, kita semua teman. Bantu aku meyakinkan yang
lain dan minta mereka untuk kembali ke kelas,” pinta David.
“Kau ini kenapa, Dave? Kau bisa begitu saja percaya,
padahal baru tadi pagi kau melihatnya. Oh My God! Aku yakin kau pasti
terhipnotis dengan parasnya. Ternyata benar, wanita bisa menghancurkan dunia.
Kau ingat perkataan Mrs. Violen tentang Bill Clinton? Kau akan seperti dia,
Dave. Hancur gara-gara wanita,” ucap Jardon.
“Jardon, kumohon. Percaya padaku kali ini saja. Kalau kau
salah, kau akan menyesal”. David memohon.
“Dan kalau aku benar, apa kau akan menyesal? Ah, love at
the first sight. Is it Dave?”
Cinta? Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama?
Tidak. Itu tidak mungkin! Jardon tidak tahu apa-apa. Dia hanya kesal. Tidak.
Ini tidak seperti itu!
Saat kelas berakhir, Maryam mengemasi buku-bukunya lalu
beranjak keluar kelas. Sementara itu, David membuntutinya dari belakang.
Tiba-tiba saja ia menjadi penasaran dengan gadis muslim itu.
Dedaunan kering berguguran disepanjang jalan trotoar
menuju halte bus. Washington DC begitu hangat siang ini. Maryam berjalan
menunduk menuju halte. Sementara david berjalan sambil menuntun sepedanya di
belakang Maryam.
Tiba-tiba langkah Maryam terhenti di depan sana. David
terkejut melihat Maryam berhenti dihadapannya, ia ikut berhenti. Lama Maryam
tak membalikkan tubuhnya, ia masih saja membelakangi David. Maryam menarik
napas, lalu berbalik mengahadap David dan menunduk.
“Maaf, aku merasa tak nyaman berjalan dihadapan anak
lelaki yang juga berjalan menuju arah yang sama. Aku diajarkan untuk berjalan
di belakang lelaki mana pun. Karena halte masih jauh, jadi kupersilahkan kau
berjalan duluan,” ucap Maryam masih sambil menunduk. Ini adalah pertama baginya
berinteraksi dengan lelaki asing ditempat umum di kota ini.
David tersenyum lalu berjalan mendorong sepedanya,
mendahului Maryam. Kini giliran gadis muslim itu yang berjalan di belakangnya.
Tak lama kemudian David berhenti. Ia berbalik mengahadap Maryam, Maryam pun
langsung menunduk.
“Maaf, sepedaku tak memiliki kursi penumpang. Jadi aku
tidak bisa membocengmu. Stasiun masih jauh,” ucap David pada Maryam sambil
tersenyum.
“Kenapa harus meminta maaf? Lagi pula, aku tidak mungkin
menerima tawaran tumpangan sepeda anak lelaki asing.”
David terdiam. Sedikit kecewa mendengar ucapan Maryam.
Tapi kemudian ia maklum. Untuk berjalan sejajar pun tak boleh. Mana boleh naik
sepeda berboncengan?
**
Maryam tersenyum sumringah saat berbaring dikasur
kamarnya. Wajah David tak bisa hilang dari matanya.
Inikah cinta seperti yang dikatakan penulis kisah seribu
satu malam itu? Atau seperti yang dikatakan Willian Shakespeare dalam karyanya
Romeo dan Juliet?
“Ayah akan segera memindahkanmu ke sekolah Internasional
khusus muslim, besok. Di sana kau bisa berbaur dengan teman-temanmu sesama
muslim,” ucap ayahnya.
Maryam tersentak, ia memandang wajah ayahnya sedih.
Sakitnya Mencintai
“Hai, Dave, ada berita bagus. Gadis teroris itu sudah
pergi. Dia pindah ke sekolah islam Internasional, ha ha ha!” Jardon tertawa
senang.
David melemah, tiba-tiba saja dia sedih. Dimana David
harus mencari Maryam? Kenapa dia tidak meminta alamatnya kemarin? Bahkan
namanya saja David belum tahu. Padahal rasa itu baru saja dia rasakan, dan kini
dia harus melupakan cinta pertamanya itu untuk selama-lamanya. David duduk
dibangku dengan lesu.
“Apakah Tuhan tidak mengizinkan cintaku pada Maryam?”
pikir David dalam hati.
Kota itu serasa kelabu malam itu. Hati David sakit. Ia
sedih, rindu, dan kehilangan, padahal hanya sehari ia bersama Maryam.
“Dia sudah pergi. Aku tidak bisa melihatnya lagi, Pino.
Aku kehilangan dia dan itu menyakitkan. Sangat menyakitkan.
David tak bisa tidur, ia gelisah. Tubuhnya panas. Bahkan
ketika pagi menjelang, tubuhnya semakin tambah panas.
Hampir tiga hari David tak beranjak dari kasurnya.
Anggel datang mengunjunginya sendirian membawa sebuah
parcel buah yang dibalut dengan plastik putih dan ikatan pita pink yang indah.
Anggel menatap wajah David. Ia sedih melihat keadaan
temannya yang sakit. Sebenarnya Anggel sudah lama memendam perasaannya pada
David, tepatnya sejak pertama kali menginjakkan kaki di Senior High School.
Namun ia berusaha cuek dan menyimpannya dalam-dalam, karena ia melihat David
tak pernah menunjukkan rasa yang sama.
Terlalu Cinta
Maryam tahu, seharusnya ia tidak berada di sana. Untuk
alasan apapun. Karena mata-mata ayahnya bisa berada dimana saja, dan ia tidak
yakin harus mengatakan apa jika tiba-tiba ia bertemu dengan anak lelaki itu di
sana. Tapi kekuatan aneh di dalam dirinya membuatnya bertahan untuk berada di
sana lebih lama.
Hari semakin sore, sekolah sudah menumpahkan segala
isinya. Tetapi sosok yang ia tunggu tidak menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.
Maryam memutuskan untuk menyerah. Sedikit banyak, ia bersyukur, karena tidak
harus bertemu David. Ia sendiri belum memutuskan akan mengucapkan apa saat
melihat anak lelaki itu.
Maryam beranjak dari tempat ia duduk. Ketika hendak
melangkahkan kaki, tiba-tiba seorang anak lelaki berkulit hitam muncul. Ia lari
tergesa-gesa mengejar dua orang pria bersenjata tajam yang baru saja kabur
dengan sepeda motor. Anak lelaki itu tampak kebingungan dan marah luar biasa.
Ia mengumpat dan memaki dengan bahasa asing. Tak lama setelah itu, Maryam sadar
kalau ia mengenalinya. Ia Jardon. Sahabat David. Dengan langkah ragu, Maryam
menghampirinya. Meski ia tahu, Jardon tidak begitu menyukainya.
“Kau?” Ucap Jardon ketakutan lalu langsung mundur tiga
langkah dari hadapan Maryam.
“Ya, ini aku,” kata Maryam. “Dan aku bukan teroris.
Percayalah,” Maryam mencoba menjelaskan.
Maryam maju selangkah untuk mendekati Jardon. “Yang bisa
kukatakan saat ini adalah, kau memerlukan uang ini. Kau membutuhkannya untuk
pulang ke rumah.” Maryam mengulurkan dua lembar pecahan sepuluh dolar ke arah
Jardon.
“I gotta go, Jardon. See you.”
**
Selama dua hari Maryam tak membuka pintu kamarnya.
Matanya selalu berair. Cinta yang keterlaluan sedang menghinggapi tubuhnya saat
ini. Terkadang, ia merasa menyesal karena telah mengenal remaja Amerika itu.
Kini rasa itu membuatnya sangat tersiksa.
Gadis Itu Kembali
“Dia kembali. Teroris itu kembali.”
Mendengar kata teroris sebuah getaran menelusup di dalam
dada David. Rasa lemas pada tubuhnya tidak lagi terasa. Rasa itu baru saja
berubah menjadi hangat yang aneh.
Jardon muncul. Ia berjalan ke depan kelas. Jardon berdiri
di depan kelas. Terlihat seperti ingin mengumumkan sesuatu. Dan benar saja.
“Ehm... teman-temanku semuanya,” Jardon terlihat
ragu-ragu. “Aku sudah mendapatkan fakta yang dapat dipercaya bahwa siswi baru
itu... ah, Maryam, bukan teroris.”
David memandang wajah Jardon. Tak percaya. Pemuda
keriting itu bisa berubah secepat itu, mustahil rasanya.
Tak lama kemudian Maryam masuk ke dalam kelas. Dengan
tenang, ia melangkah menuju bangkunya sambil menunduk.
David segera bangkit dari kursinya, semi melihat Maryam
menduduki kursinya lagi.
Dibangkunya, Maryam tak bisa meredam gejolak di dalam
hatinya. Sebenarnya, Davidlah alasan utama kembalinya ia ke sekolah itu lagi.
Setelah kelas berakhir dan semua siswa berhamburan
berebut keluar dari gerbang sekolah, Maryam ikut bergegas menuju halte. Sudah
dua bus yang ia lewatkan. Tepatnya, sengaja ia lewatkan. Matanya terus terarah
pada jalanan arah sekolah. Dan kemudian, dikejauhan, sepeda David melaju
kencang menuju halte. Saat melihat Maryam, ia langsung mengerem sepedanya.
David berhenti, sementara Maryam berdiri, mereka saling pandang. Dua hati yang
saling mencintai namun sama-sama menyimpan perasaan itu terpaku ditempatnya
masing-masing.
“Aku menyukaimu,” akhirnya ia berani mengatakannya juga.
“Pasti terdengar konyol. Tapi nyatanya memang begitu. Aku jatuh cinta padamu
sejak pertama melihatmu. Apakah juga butuh waktu empat puluh tahun bagi Tuhanmu
untuk mengampunimu jika aku mencintaimu?” tanya David dengan nada putus asa.
Maryam tak pernah menyangka akan mendengar pengakuan
cinta David saat itu juga. Dadanya bergetar hebat. Untuk pertama kalinya dia
mendengar kata itu terucap kepadanya. Maryam masih diam, tak mengatakan
apa-apa. Suara ayahnya seolah terngiang ditelinganya. Begitu jelas.
“Apa kita tidak bisa menjadi sepasang kekasih?” cecar
David.
“Jika kau berjanji tak akan pernah menyentuhku dan
menghargaiku sebagai gadis muslim, aku mau jadi kekasihmu,” ucap Maryam tanpa
berpikir panjang lagi.
David tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Napasnya
naik turun tak karuan.
Dihadapannya, Maryam juga tersenyum bahagia. Namun air
matanya masih mengalir. Bahkan semakin deras.
**
“Kau mau kuantar pulang?” tawar David pada Maryam.
Maryam terdiam, mununduk lalu mengangkat wajahnya, “Ini
kali pertamanya aku berdiri berdekatan dengan anak laki-laki,” ucapnya. “Dan
aku tidak terbiasa dengan interaksi yang seperti ini. Tapi kau berbeda, David.
Kau sangat berbeda dengan teman-teman Amerika-mu.”
David menatap Maryam, tak mengerti sepenuhnya apa yang
ingin dikatakan Maryam padanya.
Maryam tersenyum lembut. “Baiklah, aku mau duduk di
belakangmu, tapi jangan kencang-kencang, ya!”
**
“Jadi itu yang membuatmu ingin kembali ke sekolah Amerika
itu?” Kalimat itu menyambut kepulangan Maryam.
“Maryam, apa yang akan ayah katakan pada Allah ketika
ayah ditanyai dipengadilan terbesarnya nanti? Aku yang lemah ini tak mampu
mengurusmu dan menjagamu dari perbuatan dosa? Sudah cukup kakakmu saja yang
berbuat dosa,” ucap ayahnya di tengah isak tangisnya.
**
“Sepertinya anakku sedang jatuh cinta.”
“Aku sudah remaja, Ayah. Wajar kan, jika aku jatuh
cinta?” ucap David tersenyum.
“Dengan gadis cantik berkerudung itu, ya?” pertanyaan
ayahnya tiba-tiba itu membuat David terdiam, ia bingung ayahnya tahu darimana
tentang Maryam.
“Abaikan perasaanmu itu, Anakku. Kau harus tahu, yang kau
lakukan itu berbahaya, sangat berbahaya, jadi kau harus hati-hati. Apalagi dia
tidak seiman denganmu.” Ayahnya serius kali ini.
David, Maafkan Aku
“Awalnya aku tak pernah percaya dengan kisah Layla-Majnun
yang ditulis oleh pengarang dari Persia itu. Tapi setelah merasakannya, aku
jadi percaya” bisik Maryam.
“Apa yang terjadi? Pelajaran Mrs. Violen sudah dimuali, “
ucap David.
“Sepertinya kau bukan hanya tak boleh menyentuhku, Dave.”
David berteriak sekencang-kencangnya sambil berucap,
“Tuhan, dimana keadilan-Mu? Kenapa si Amerika ini harus jatuh cinta pada gadis
berkerudung itu? Sebegitu berbedanyakah kami? Lalu kenapa Kau menciptakan
Amerika dan Arab, Islam dan Katolik? Apakah agar kami bermusuhan? Tidak bisakah
Kau menyatukan kami dengan cinta? Tidak bisakah?”
**
“David... “bisiknya, lirih. “Maafkan aku.”
Pinokio Vs Zahara
Zahara kini berhadapan dengan Pinokio. Matanya melotot
dan dengan anggun menggerung seolah ingin bertarung dengan Pinokio meski
tubuhnya jauh lebih kecil. Sementara Pinokio tak berhenti mengintimidasi kucing
itu dengan geramnya sambil memperlihatkan giginya yang runcing. David mendekati
anjingnya, dan itu juga yang dilakukan Maryam terhadap kucingnya.
“Tenang Pino, dia sahabatmu. Dia tidak akan mengganggumu.
Suatu saat kau akan hidup serumah dengan kucing itu. Jadi tenang, ya,” David
mengelus-elus anjingnya, sambil sesekali mencuri pandang pada Maryam.
Pandangan Maryam tidak lepas dari sosok David. Dalam
hatinya ia tertawa saat mendengar David berbicara pada anjingnya. Ia masih
ingat betul kalimat yang diucapkannya bahwa suatu saat nanti anjingnya akan
serumah dengan Zahara. Namun ketika mengingat perbedaan agama mereka, senyum
Maryam menyusut.
Benarkah? Benarkah suatu hari nanti aku bisa hidup
bersamanya? bisik hati Maryam.
Jangan Jodohkan Aku, Ayah
Dia masih belia, biarkanlah dulu dia mengenyam
pendidikan sampai college,” bela ibunya.
“Aku tak percaya padanya. Menikah itu menjaga kesucian,
dan aku sudah punya calon untuknya. Kahled, anak sahabatku itu. Dia pemuda yang
tampan dan salih. Khaled hafal 30 Juz Al-Qur’an, namun cita-citanya ingin
menjadi insinyur pembangunan. Masih di High School saja dia sudah bisa membuat
rancangan gedung pencakar langit yang akan menyaingi gedung-gedung kota ini.
Dia juga sangat baik dan lembut. Aku menyukainya. Dan kau juga akan
menyukainya.
Maryam menahan napas, entah sudah berapa lama. Ia sangat
terkejut mendengar percakapan kedua orangtuanya.
Ya Allah, aku tidak mau dijodohkan. Aku tidak bisa
menerima perjodohan ini. Dalam hatu, Maryam merintih.
Malam itu juga, Maryam mengambil keputusan untuk
melarikan diri dari rumahnya.
**
Anggel sedikit takut melihat kenekatan Maryam untuk kabur
dari rumahnya. Ia membuatkan secangkir teh hangat dan memberikannya pada
Maryam. Mr. Stone dan Mrs. Monica, orangtua Anggel, juga turut prihatin. Mereka
berdua mencoba menenangkan sahabat puteriny. Sebisa mungkin kedua orangtua itu
membuatnya nyaman.
Tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu. Mr. Stone
membukanya, terlihat beberapa orang bertubuh atletis berkacamata hitam berbaris
di depan pintu rumahnya, mereka semua mengenakan pakaian serba hitam. Tiba-tiba
terlihat sosok laki-laki bergamis dengan jenggot tebal menghiasi dagu sedang
berdiri di antara para body guardnya. Mr. Stone menyambutnya hangat. Lelaki tua
berjubah itu berbicara sesuatu dengan ramah lalu dipersilahkannya masuk oleh
sang tuan rumah.
Betapa kagetnya Maryam saat menyadari bahwa tamu itu
adalah ayahnya. Sia-sia sudah pelariannya.
Lika-Liku Cinta
Maryam memang cantik, mungkin secantik Maria yang
melahirkan Yesus dalam kisah di Alkitab. Hidungnya yang mancung dan pas,
kulitnya yang putih bening tanpa noda sedikitpun, bibirnya yang merah alami.
Ah, Maryam, dia memang cantik. Anggel mengakui itu. Pantas saja David
tergila-gila padanya. Anggel masih menyimpan perasaan pada David, dan tahu
bahwa David sangat menyayangi Maryam. Meskipun begitu, Anggel sudah memutuskan
untuk berdamai dengan rasa sedihnya. Ia dengan tulus untuk menjadi sahabt
Maryam.
**
Saat Maryam muncul, sahabat ayahnya yang bernama Husen
menyambutnya dengan senyuman bijak. Khaled sedikit memandang Maryam. Darah muda
di dalam dirinya berdesir hebat. Maryam memiliki kecantikan yang mempesona.
Matanya yang sendu dan teduh dinaungi alis hitam yang melengkung sempurna.
Hidungnya kecil dan runcing. Bibir mungilnya merah merekah. Khaled membayangkan
bibir itu mengucapkan doa dalam shaf di belakangnya kelak. Pemuda itu
beristighfar dalam hati.
Maryam tidak banyak berbicara selama prosesi makan malam
itu. Dia hanya menjawab pertanyaan yang diajukan ayah atau ibu Khaled seadanya.
Hingga obrolan hangat dua keluarga itu selesai, Maryam tak pernah menyadari
tatapan kagum Khaled yang sesekali mengarah kepadanya.
**
“Kau tahu kenaapa Maryam menjauhiku?” tanya David dengan
memasang tampang serius.
Anggel memandang wajah David penuh kesedihan. Ia bingung
antara memberitahukannya atau tidak. Sejujurnya dalam hatinya ia tidak tega
untuk bilang bahwa Maryam akan dijodohkan dengan lelaki pilihan ayahnya.
Tiba-tiba saja Maryam mengahmpiri.
“Aku akan dijodohkan, Dave. Ayahku telah memilihkanku
calon suami dari Dubai, namanya Khaled. Ayahku berniat menikahkan kami setelah
lulus dari High School dan aku tidak bisa menolaknya.” Emosi Maryam meluap
seketika.
Mendengar hal itu langsung dari Maryam membuat David
seakan limbung. Ia tertegun sejenak, kemudian pelan berjalan meninggalkan
Maryam dan Anggel.
Tuhan, Ajari Aku Melupakannya
“Untuk apa kau kemari?” Aku ingin melupakanmu. Kalau kau
di sini, aku tidak bisa melupakanmu seperti keinginanmu.” David memalingkan
wajahnya. Tak sedikitpun memandang Maryam.
Maryam tidak percaya David bisa mengucapkan itu tanpa
memandang ke arahnya. Maryam tidak bisa berbohong lebih banyak lagi.” Aku juga
ingin melupakanmu, Dave.”
“Tapi aku tidak bisa,” ungkap Maryam. “Aku ingin tetap
melihatmu walau aku tahu aku tak akan mungkin bisa memilikimu.” Maryam bergetar
mendengar kalimatnya sendiri. Aku... aku masih mencintaimu... Dave.”
Sesaat suasana hening.
“Seperti saran ayahku, aku berulang kali menyebut nama
Tuhan. Meminta-Nya membuatku melupakanmu.” David memecah kebisuan diantara
mereka berdua. “Tapi tidak semudah itu. Gila, kan? Padahal kita baru bertemu.”
Bawaku Pergi Bersamamu
“Ikut aku, Maryam,” ucap David lemah. “Ayo kita pergi
dari sini. Kita pergi ke mana saja. Kita berdua.”
“David...”
“Sulit sekali melalui ini sendirian, Maryam.”
“Aku juga merasakannya, Dave. Tapi ini tidak mungkin
untuk dilakukan. Ini tidak mungkin.” Maryam ragu dengan ajakan David.
“Aku berjanji, tidak akan menyentuhmu. Aku akan selalu
menjaga kehormatanmu, asal kita selalu bersama. Aku tidak bisa jika kau harus
menjadi milik orang lain, Maryam.” Air mata David tumpah juga dihadapan Maryam.
Maryam seketika luluh melihatnya. “Baiklah, bawa aku
pergi ke manapun kau mau.”
Tempatkan Cinta Sesuai Porsinya
“Khaled...” Maryam mencoba mengumpulkan kata-kata.
“Iya...” Khaled menatap wajah Maryam yang nampak tegang.
“Apa kau mencintaiku?” tanya Maryam.
Khaled menarik napas dalam, dipejamkannya matanya, “Atas
nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku... aku memang mencintaimu,
Maryam. Aku mencintaimu karena Tuhanku.”
“Jika aku tidak ikhlas menjadi istrimu kelak, apakah kamu
masih mau menikah denganku?” tanya Maryam lagi, kali ini ia lebih hati-hati.
“Pernikahan harus didasari suka sama suka, Maryam. Jika
salah satunya terpaksa, maka pernikahan itu tidak sah.” Ada khawatir yang
dirasakan Khaled.
“Itu yang aku rasakan padamu. Aku tidak bersedia untuk
menjadi istrimu.”
Khaled tidak tahu harus menjawab apa, harapan untuk
menikahi Maryam pupus sudah. Tapi melihat ketegasan dimata Maryam akan
perasaannya, Khaled tidak bisa memaksa. Dia mencintai gadis itu. Dan dia menginginkan
gadis itu bahagia. Jika cara untuk membahagiakan gadis itu adalah dengan cara
membebaskannya, Khaled tidak keberatan. Sama sekali tidak.
**
Sudah kuupayakan sebisaku, Khaled. Menerimamu. Mayakinkan
diriku untuk menjadi istri yang baik bagimu kelak. Tapi hatiku sudah...”
“Sebelum aku mengenalmu, aku sudah dekat dengan
seseorang. Dia yang pertama kali membelaku di sekolah. Saat itu aku merasa
tertekan karena teman-teman sekelasku tidak mau menerimaku di kelas. Mereka
menyangka aku seorang teroris. Tapi dia, dia berbeda. Dia membelaku. Sejak saat
itu aku bersahabat dengannya, dan mendapati diriku menyukainya. Tapi demi
Allah, secuil pun dia tak pernah menyentuhku.” Maryam menjelaskan semua rahasia
hatinya. “Sayaangnya, dia seorang Amerika.” Maryam berkata sedih.
Hati Khaled berkecamuk, ia tak menyangka akan dilibatkan
dalam urusan hati yang pelik ini.
My Name Is Khaled
“I’m Khaled.” Khaled memperkenalkan diri.
“Kau... Khaled yang diceritakan Maryam?” Anggel
menduga-duga.
Khaled mengangguk.
“Aku butuh bantuanmu. Bisa kau antar aku ke rumah David?”
pinta Khaled.
“Aku akan mengantarmu untuk menemuinya, tapi aku minta
kau untuk berjanji, jangan ceritakan pada David bahwa Maryam dirawat di sini. Aku
minta kau rahasiakan ini dari David dan Maryam. Kau bersedia?”
“Insya Allah. Aku berjanji,” jawab Khaled mantap.
Anggel pun mengantarkan Khaled ke ruangan dimana David
dirawat.
“Aku Khaled. Kurasa Maryam sudah bercerita tentangku.”
“Semua sudah jelas, kau akan menikah dengannya. Urusan apa
lagu yang akan kau bicarakan denganku, Khaled?” David terkesan sinis.
“Tapi Maryam tidak mencintaiku.” Ada nada sesal dalam
kalimat Khaled.
“Aku tahu, dia sangat mencintaimu, David. Tapi aku tidak
bisa menolak permintaan ayahku untuk menerima perjodohan ini,” lanjut Khaled
lagi.
Entah kenapa, tiba-tiba Khaled merasakan keakraban dengan
David. Di matanya, David adalah lelaki yang baik, sangat baik. Satu hal yang
baru ia sadari, ternyata cinta David terhadap Maryam begitu besar. Mungkin melebihi
cintanya sendiri terhadap Maryam.
Perbedaan Yang Tak Mungkin Disatukan
Ayah Maryam mendekat ke arah David. Ia pandangi wajahnya
lekat. Hatinya terenyuh melihat kondisi David yang kurus, lingkar matanya
menghitam dengan wajah pucat seolah sedang menahan beban berat. Ia pandangi
lagi wajah David yang diam seperti sedang tertidur lelap, namun masih
menyiratkan mimik kesedihan.
“Wajah anak ini tampan. Sangat tampan. Namun antara dia
dan Maryam ibarat air dan minyak, mereka tidak akan akan mungkin bisa saya
satukan. Saya tidak akan mungkin melakukannya. Tapi saya yakin dia akan mampu
melaluinya. Begitu juga dengan Maryam. Saya percaya itu.” Ayah Maryam mencoba
meyakinkan dirinya sendiri.
Cinta Membuat Tak Berdaya
Dalam isak tangisnya, ibunya berkata pada ayahnya, “Maryam
membutuhkan cinta. Dan itu tidak dia dapatkan dari kita, sebab dia sendiri
tidak pernah mengerti mana cinta atau keegoisan. Yang dia tahu hanyalah
keegoisan kita. Hingga saat dia temukan seseorang yang peduli dan sayang
padanya, seperti inilah jadinya.”
Lagu
Perpisahan
“Aku tidak kuat lagi, Ayah. Maafkan aku jika selama ini
aku sudah banyak menyusahkanmu, Ayah. Ayah, aku mencintaimu.”
“Tidak... jangan katakan itu. Kau akan sembuh Dave.” Mata
pastur itu mulai berkaca-kaca.
“Maaf jika aku tidak bisa menepati janjiku pada ayah
untuk menjadi anak yang bisa ayah andalkan.”
“lantunkan untukku lagu gereja yang sering ayah nyanyikan
untukku setiap menjelang tidurku. Aku ingin mendengarnya sekali ini, Yah,”
pintanya.
“Akan ayah nyanyikan, tapi berjanjilah, kau harus kuat
dan bertahan.” Ayahnya semakin terisak hebat kemudian langsung bersenandung.
Pergi Untuk Kembali
Di kamar rumah sakit itu, tubuh Maryam kembali bergerak.
“Ayah...” Maryam mulai membuka matanya pelan.
“Iya, Anakku.” Wajah ayah Maryam terlihat sumringah
“Aku tidak menginginkan David lagi. Dia tidak mau
membawaku pergi. Ayah harus berjanji, setelah aku pulih, kita harus pindah ke
Dubai dan aku ingin sekolah lagi di sana,” pinta Maryam terbata.
“Iya, Nak. Ayah akan penuhi permintaanmu. Ayah janji”
“Aku... aku siap menikah dengan Khaled ketika lulus High
School nanti. Aku siap, Ayah,” ujar Maryam pelan.
Khaled langsung menangis terharu mendengar pernyataan
Maryam yang tiba-tiba itu. Dalam hatinya dia masih tidak percaya, mengapa
Maryam tiba-tiba berubah pikiran.
**
“Maryam... Maryam...” perlahan David membuka membuka
matanya.
“Anakku, kau sadar kembali. Puji Tuhan.” Ayah David tak
bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya.
“Ayah, maafkan aku. Aku merasa lelah, Ayah. Sangat lelah.
Aku tidak ingin merasakan cinta seperti ini lagi, Ayah. Aku akan berusaha
melupakan Maryam. Aku janji.”
Saat Semua Berubah
Ijab qabul telah dikukuhkan diantara keduanya. Khaled bergetar
saat Maryam mencium tangannya dengan takzim. Pengantin muda itu berseri-seri
bahagia, sementara Maryam masih menyisakan kesedihan yang tak pernah lepas
selama dua tahun berpisah dengan David Stuart.
“Bolehkah aku menyentuhmu?” tanya Khaled gemetar.
“Khaled, maukah kau sedikit bersabar menungguku sampai aku
benar-benar melupakan David? Kalau aku benar-benar melupakannya, aku baruy akan
memberikan diriku seutuhnya.” Maryam menagis deras.
“Baiklah, Maryam. Aku akan menunggumu sampai kau
benar-benar siap menerimaku sebagai suamimu,” jawab Khaled pasrah. Ada mendung
dimatanya.
**
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan,
Khaled menunggu Maryam untuk bisa menyentuh tubuhnya. Namun Maryam tak juga
mengizinkan Khaled untuk menyentuhnya. Hingga suatu hari, Khaled duduk di
samping Maryam.
“Maryam, aku menyerah. Hari ini... Ya, tepat hari ini...
Aku... Aku akan menceraikanmu...”
Waktu demi waktu berjalan cepat, tak terasa empat tahun
lebih Maryam mengenyam pendidikan disebuah Universitas di Dubai. Dia akhirnya
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Demi meneguk kembali kenangan-kenangan masa lalunya,
diam-diam Maryam mengirimkan biodatanya di lembaga pendidik disebuah kota di
Amerika via email.
Sebulan lamanya ia menunggu balasan dengan cemas. Dan hari
itu, penantiannya selama sebulan lebih tidak sia-sia. Maryam memperoleh
kesempatan itu.
New
York, Aku Kembali
Ada keharuan menyeruak begitu ia injakan kaki menuruni
tangga pesawat yang menerbangkannya dari Dubai. Seakan tidak ingin melewati
momen itu, dia hirup dalam-dalam udara kota New York hingga memenuhi rongga dadanya.
New York serupa candu baru bagi dirinya.
Setelah menyewa sebuah apartemen sederhana, Maryam datang
memenuhi panggilan lembaga yang menerimanya.
Disela-sela hari libur, Maryam seringkali memanfaatkannya
dengan berkeliling kota, mengingat kembali kenangan masa lalunya yang masih
tersimpan rapi dipikirannya. Maryam teringat David dan berniat mengunjungi
gerejanya.
Tell
Your Father, I am Moslem
“Masih maukah kau menikah denganku?” tanya David. Maryam
terperangah. Sudah lama dia menunggu kalimat itu terucap oleh David.
“Kau bisa bilang pada ayahmu bahwa aku sekarang seorang
muslim,” bujuk David. “Bukan karena orangtuaku muslim, bukan karena cinta untuk
mendapatkannya, tapi karena hatiku telah mantap memilihnya.” Ditatapnya wajah
Maryam yang menunduk dalam.
“Aku masih mencintaimu, Dave. Aku tidak bisa melupakanmu.
Demi Allah.” Suara Maryam bergetar kemudian melanjutkan, “ Tapi bagaimana kau
menjelaskan perihal anak laki-laki yang memanggilmu ‘Daddy’ tadi?”
Ibrahim untukku seperti halnya aku bagi Rushel.
“Jadi, maukah kau menjadi ibu dari anak ini? Anakku?”
“Siapa yang tidak ingin menjadi ibu dari anak yang tampan
dan menggemaskan ini?”
David luruh dalam haru.
**
“Sekarang tidak butuh empat puluh tahun lagi bagi Tuhan
untuk mengahapus dosa kita, Dave. Allah bahkan akan memberikan pahala disetiap
jengkal kau menyentuhku. Aku ikhlas menyerahkan seluruh jiwa dan ragaku padamu,
Dave, Suamiku.”
David serta merta mendekap Maryam erat. Maryam meletakkan
kepalanya didada David. Suasana haru penuh cinta menyeruak dari dalam kamar
pengantin. David dan Maryam tak henti mengucap hamdalah. Hati mereka bersahutan
menyenandungkan kidung cinta.
**selesai**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar